• Jelajahi

    Copyright © Sergap24
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Iklan

    Halaman

    Menelaah Kembali Dwifungsi ABRI

    Redaksi
    Kamis, 20 Maret 2025, Maret 20, 2025 WIB Last Updated 2025-03-20T03:32:15Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini



    Sergap24.info- 

    Robert Cribb dan Audrey Kahin dalam Kamus Sejarah Indonesia menyatakan Dwifungsi ABRI sebagai doktrin angkatan bersenjata yang menyatakan fungsi militer adalah untuk pertahanan nasional dan juga berpartisipasi dalam urusan sosial dan politik negara.



    Struktural teritorial AD, yaitu hierarki militer yang jauh berbeda dengan komando pertempuran dan sejajar dengan birokrasi sipil dari tingkat provinsi (Kodam) hingga desa (Babinsa), melibatkan personel militer dalam pengelolaan negara sehari-hari.



    Pola karier umum seorang perwira perwira selalu bergantian antara komando teritorial dan komando tempur, diikuti dengan “pensiun” pada usia 55 tahun untuk memasuki birokrasi sipil.



    Sejarah Dwi Fungsi ABRI


    Keterlibatan militer dalam pemerintahan dimulai selama Revolusi dengan dibentuknya Dewan Pertahanan Negara (DPN). Pada 1948, sejumlah gubernur militer (beberapa dari mereka adalah warga sipil) diangkat di sejumlah wilayah Republik.



    Jenderal A.H. Nasution mengembangkan teorinya yaitu “Pertahanan Rakyat Semesta” (baca Gerilya), yang menurut teori ini pemerintahan sipil berada di bawah wewenang Angkatan Bersenjata untuk bertempur melawan Belanda.



    Setelah penyerahan kedaulatan 1949, Angkatan Darat menerima kekuasaan sipil. Melihat bahwa kelemahan sistem politik menjadi jelas, perwira semakin merasa mereka memiliki tanggung jawab untuk melibatkan diri dalam politik untuk "menyelamatkan bangsa". Ketika darurat militer dideklarasikan pada tahun 1957 sampai sekarang, Angkatan Darat memperluas perannya dalam bidang ekonomi dan administrasi politik.



    Jendral A.H. Nasution, pimpinan TNI-AD pada saat itu berbicara kepada Presiden Soekarno, bahwa sangat ingin melanjutkan peran ini setelah darurat militer dicabut, dan karena itu mengembangkan konsep "Jalan Tengah" di mana Angkatan Darat diberikan peluang bagi peranan terbatas di dalam pemerintahan sipil.



    Dari 25-31 Agustus 1966, Seminar Angkatan Darat Kedua diadakan, Para peserta yang perwira Angkatan Darat senior dan lebih dari 100 peserta dari SESKOAD. Ini revisi dari doktrin Angkatan Darat, yang dipandang mengandung terlalu banyak pengaruh komunis. Doktrin baru ini menetapkan fungsi Angkatan Darat di luar militer, yaitu "untuk berpartisipasi dalam setiap usaha dan kegiatan masyarakat di bidang ideologi, politik dan ekonomi dan bidang sosial budaya".



    Hal ini juga menghasilkan dokumen berjudul "Kontribusi Angkatan Darat dari Ide untuk Kabinet Ampera". Ini memiliki dua bagian, yakni Rencana untuk stabilisasi politik dan Rencana untuk stabilisasi ekonomi.



    Pada masa pemerintahan Soeharto, konsep ini mengalami perubahan dan menjadikan TNI secara organisatoris (bukan perorangan) menduduki jabatan-jabatan strategis di lingkungan pemerintahan seperti Menteri, Gubernur, Bupati, serta lembaga-lembaga legislatif dalam wadah Fraksi ABRI/TNI.



    Doktrin partisipasi militer dalam urusan sipil secara resmi dikenal sebagai dwifungsi, yang mendaku peran permanen untuk tentara baik dalam bidang pertahanan maupun sosial-politik.



    Selama 1970-an, dominasi tentara terhadap negara dibenarkan dengan alasan bahwa warga sipil masih memerlukan kepemimpinan kuat yang hanya bisa diberikan oleh tentara. Baru pada Februari 1988 dwifungsi disahkan untuk pertama kalinya dalam perundang-undangan.



    Penghapusan Dwifungsi ABRI


    Dengan jatuhnya Soeharto, sejumlah perwira militer berharap bahwa peran dwifungsi tentara akan kembali diperkuat. Tetapi, terungkapnya penyalahgunaan kekuasaan oleh tentara pada akhir rezim Orde Baru membuat publik menuntut penghapusan keterlibatan militer dalam urusan sipil.



    Pasca-Reformasi, pengaruh militer dalam politik sangat melemah dan Faksi ABRI, yang pada saat itu telah mengubah namanya menjadi Faksi TNI-POLRI, juga kehilangan perwakilan di DPR. Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000 di masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), disepakati untuk menghapus doktrin ini yang akan dimulai setelah Pemilu 2004 dan diharapkan selesai pada Pemilu 2009.



    Polemik Revisi UU TNI


    Dilansir dari Tempo, Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud Md., mengatakan draft terbaru revisi UU TNI tidak mengembalikan dwifungsi ABRI. Menurut dia, revisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 itu tidak terlalu mengganggu desain politik yang dicita-citakan reformasi.



    Pada masa orde baru, kata dia, dwifungsi ABRI memberikan peluang TNI dan Polri menjadi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tanpa masuk pemilu dengan porsi 22 persen. Kemudian, dwifungsi ABRI juga memungkinkan TNI dan Polri mengisi jabatan-jabatan eksekutif seperti gubernur, wali kota, dan bupati dengan sistem penunjukkan tanpa pemilu.



    Menurut dia, dalam draft terbaru revisi UU TNI tidak memiliki indikasi membuka peluang-peluang tersebut. Sebaliknya, draft terbaru revisi UU TNI memperjelas batas-batas sejauh mana TNI dapat menempati jabatan publik. “Sekarang ada penegasan kembali bahwa anggota TNI yang mau masuk ke Jabatan Sipil itu harus mengundurkan diri atau pensiun dini,” kata dia.



    Meski ada penambahan kementerian dan lembaga yang dapat diisi oleh TNI, Mahfud menilai tidak akan berpengaruh secara signifikan. Sesuai dengan dokumen hasil pembahasan DPR dan pemerintah yang diperoleh oleh Tempo, jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI diperluas, dari 10 kementerian/lembaga menjadi 14 kementerian/lembaga. Penambahan jabatan sipil tersebut tertuang dalam hasil revisi Pasal 47 UU TNI.



    Pada ayat (1) pasal tersebut menyebutkan secara tegas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI, sebagai berikut: Lembaga sipil bagi prajurit sesuai dengan hasil pembahasan revisi Undang-Undang TNI: membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara; pertahanan negara, termasuk Dewan Pertahanan Nasional; kesekretariatan negara yang menangani urusan Kesekretariatan Presiden dan Kesekretariatan Militer Presiden.



    Selain itu jabatan sipil yang bisa diisi prajurit TNI, yakni intelijen negara; siber dan atau sandi negara; lembaga ketahanan nasional; search and rescue (SAR) nasional; pengelola perbatasan; kelautan dan perikanan; penanggulangan bencana; penanggulangan terorisme; keamanan laut; Kejaksaan; dan Mahkamah Agung.


    Sumber : Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Tempo, Kamus Sejarah Indonesia, The Army and Politics in Indonesia

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini